TRADISI BAKAR BATU WARISAN NENEK MOYANG YANG TAK TERLUPAKAN

Upacara bakar batu mempunyai beberapa istilah berdasarkan sejumlah bahasa daerah di Papua. Seperti lago lakwi menurut Bahasa Lani, gapii atau mogo gapii menurut masyarakat Paniai, kit oba isago untuk warga Wamena, atau barapen menurut istilah Biak.
Tujuan orang Papua menggelar bakar batu pun beragam. Ada yang merupakan ungkapan rasa syukur atas berkat yang melimpah, menyambut kelahiran, merayakan pernikahan, meresmikan bangunan baru, juga menyambut kedatangan tamu.
Bakar batu juga digelar untuk mengumpulkan prajurit sebelum berperang, merayakan kemenangan atas perang antar suku, memulihkan keharmonisan antarmanusia akibat peperangan atau kematian, serta ungkapan saling memaafkan. Bakar batu pun digelar untuk memberikan penghormatan terakhir bagi anggota keluarga yang meninggal.

Sedangkan berdasarkan wilayah, setidaknya ada dua wilayah besar di Papua yang menggelar tradisi bakar batu meskipun dengan cara yang sedikit berbeda. Yaitu wilayah Papua Tengah atau La Pago Wilayah La Pago merupakan wilayah adat terkecil terletak di Pegunungan Papua Tengah Bagian Timur, meliputi: 1. Pegunungan Bintang 2. Wamena 3. Lani jaya 4. Puncak jaya 5. Pucak 6. Nduga 7. Yahukimo 8. Yalimo 9. Mamberamo Tengah 10. Tolikara dan wilayah Papua Timur atau Wilayah Mee Pago terletak di Pegunungan Papua Bagian Tengah, meliputi: 1. Intan jaya 2. Paniai 3. Deiyai 4. Dogiyai 5. Nabire Gunung 6. Mimika.
Sementara kawasan Wilayah Mee Pago terletak di Pegunungan Papua Bagian Tengah, meliputi: 1. Intan jaya 2. Paniai 3. Deiyai 4. Dogiyai 5. Nabire Gunung 6. Mimika Gunung Sumber: Dewan Adat Papua. Perbedaan terletak dari bentuk lubang di tanah untuk membakar batu. " Wilayah Mee Pago lubangnya memanjang. Kalau Wilayah La Pago merupakan wilayah adat terkecil terletak di Pegunungan Papua Tengah Bagian Timur, meliputi: 1. Pegunungan Bintang 2. Wamena 3. Lani jaya 4. Puncak jaya 5. Pucak 6. Nduga 7. Yahukimo 8. Yalimo 9. Mamberamo Tengah 10. Tolikara bentuk lubang bulat. Tapi cara memasaknya sama.

Tradisi itu pun masih dipegang kuat oleh orang Papua di mana pun mereka berdomisili. Mereka biasa menggelar bakar batu untuk merayakan ulang tahun, Natal, atau pun syukuran karena lulus kuliah menyandang gelar sarjana.
Makanan yang disajikan pun tetaplah makanan khas Papua, seperti daging babi dan ubi-ubian. Babi pun bukan binatang yang sulit didapatkan di papua. Mengingat sejumlah peternak babi banyak mengembangbiakkannya di sana. Ketela rambat (ubi) dan singkong (pohong) juga mudah didapatkan di pasar-pasar tradisional. Mereka tetap memilih memasaknya beramai-ramai di dalam tungku dari timbunan batu panas.

Lantaran bakar batu bukan sekedar seni memasak daging dan ubi di atas batu panas. Melainkan sebuah tradisi turun-temurun yang mengandung banyak nilai budaya yang harus dilestarikan dan dijunjung tinggi. "Kalau tak ada bakar batu tidak lengkap. Dilihat dari nilai derajatnya enggak ada apa-apanya (dibandingkan lewat masakan lain), derajat yang dimaksud bukan pada strata sosial. Melainkan ada nilai lebih yang didapatkan saat kebudayaan yang turun-temurun itu dipertahankan. Lewat tradisi bakar batu pula, ikatan kekeluargaan yang kuat dibangun warga Papua melalui kerja sama. "Memasak di dapur hanya melibatkan beberapa orang saja. Kalau bakar batu melibatkan semua orang.
Pelibatan banyak orang tidak hanya ketika menikmati masakan yang sudah matang secara bersama-sama. Melainkan sejak awal prosesi, baik laki-laki maupun perempuan segala umur berbagi tugas. "Jadi kerjanya bersama. tidak ada yang santai. Asap putih membumbung tinggi dari celah-celah bebatuan yang saling ditumpuk.

Lalu laki-laki menggali lubang di atas tanah dengan kedalaman sekitar dua setengah meter dan berdiameter dua meter. Ukuran lubang disesuaikan dengan seberapa banyak bahan makanan yang akan dimasak.Tentu saja banyaknya makanan disesuaikan dengan berapa jumlah orang yang akan menyantapnya.
Batu-batu yang diambil dari sungai disusun di dalam lubang. Cara mengangkut batu dan meletakkan di dalam lubang pun menggunakan teknik tertentu. Batu diambil dan diangkut dengan penjepit yang disebut apando. Jangan dibayangkan apando adalah alat pabrikan. Melainkan berupa dahan pohon yang dibelah menjadi dua pada bagian ujungnya. Di ujung kayu itulah, batu-batu yang masih dingin itu dijepit, diangkut, lalu disusun di atas lubang. Alat itu juga untuk mengeluarkan bebatuan yang membara dari lubang usai masakan matang. Kemudian sejumlah kayu disusun di atas batu. Dari kayu itu pula, api dinyalakan untuk memasak batu. Lalu sejumlah batu disusun kembali di atasnya. Setidaknya membutuhkan waktu satu sampai dua jam untuk membuat bebatuan panas dan siap memanggang daging.

Tak sampai di situ tugas lelaki. Di tangan mereka pula, babi yang menguik itu dibunuh dengan cara dipanah, bukan disembelih. Memanah babi itu pula cara yang digunakan dalam tradisi bakar batu di tanah Papua. Tugas memanah diserahkan pada ahlinya. Dibutuhkan orang yang benar-benar mampu memanah dalam satu tarikan busur dengan satu anak panah tepat mengenai jantung babi. Babi yang akan dipanah dalam kondisi bebas tanpa diikat apapun. Biasanya si pemanah adalah orang Papua yang dituakan.
Jika babi itu tak lekas mati, maka diyakini akan ada pertanda buruk yang bakal terjadi. Bahwa harapan dari tujuan penyelenggaran tradisi bakar batu tidak kesampaian. Penanda itu juga bisa dilihat dari matang tidaknya daging, ubi-ubian, juga sayuran. Apabila tidak matang, pertanda ada persoalan yang belum selesai. "Jadi setiap prosesi kami lihat secara detil dari awal sampai akhir untuk membaca simbol-simbol itu.
Kaum lelaki pula yang memotong daging babi menjadi dua bagian untuk dipanggang di atas batu. Sedangkan yang mencuci daging adalah perempuan, berikut membersihkan sayuran dan ubi, serta menyiapkan bumbu. "Pakai bumbu dapur biasa. Seperti merica, bawang merah putih, kunyit yang semuanya diblender.
Setelah bebatuan itu memerah, kemudian ditimbun dengan bebatuan lagi agar bahan makanan tidak gosong. Cara lain untuk mengurangi panas adalah dengan menyiram batu dengan sedikit air agar uapnya naik. Baru kemudian batu-batu itu ditutup dengan daun pisang.
Cara meletakkan daun yang bentuknya memanjang itu pun tak asal-asalan. Melainkan disusun dengan meletakkan pangkal daun di atas lubang berbatu dengan ujung daun mengarah ke luar. Hasil susunannya pun membentuk lingkaran. Barulah di atasnya ditimbun dengan ketela, daun pisang, batu, sayuran, batu lagi, baru kemudian daging di bagian paling atas yang ditimbun sayuran. Barulah bumbu yang berbentuk cair itu diguyurkan di atas sayuran. "Butuh waktu sekitar 30 menit agar bahan makanan itu matang.

Dedaunan yang turut dimasak terlihat layu. Daging, ketela, singkong dan sayuran yang telah matang dibagi di atas lembar-lembar daun pisang sebagai pengganti piring. Setiap kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari kurang lebih 10 orang meriungi lembaran-lembaran daun itu untuk bersantap bersama.

untuk sementara cukup sekian duluh
terimakasih sudah berkunjung
post by NGGOLALUOKWANDIKBO

Comments

Post a Comment

Popular Posts